BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali
praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimainkan
oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan akan didik untuk berpartisipasi
secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan
peranan tradisional yang selama ini dipegang oleh sekolah-sekolah.
Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam
menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah
seyogyanyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa.
Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan
informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses
belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling
mengajar dengan sesama siswa yang lainnnya. Bahkan, banyak penelitian
menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh
guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk
bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut
sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai
fasilitator.
Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode
gotong royong tidak terlampau asing dan mereka telah sering menggunakannya dan
mengenalnya sebagai metode kerja
kelompok. Memang tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan
para siswa untuk bekerja dalam kelompok.
Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap
kurang efektif. Berbagai sikap dan kesan negative memang bermunculan dalam pelaksaan
metode kerja kelompok. Jika kerja kelompok tidak berhasil, siswa cenderung
saling menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa
yang pandai/rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil
kerja mereka. Akibatnya, metode kerja kelompok yang seharusnya bertujuan mulia,
yakni menanamkan rasa persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa
berakhir dengan ketidakpuasaan dan kekecewaaan. Bukan hanya guru dan siswa yang
merasa pesimis mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang
orang tua pun merasa was-was jika anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok
dengan siswa lain yang dianggap kurang seimbang.