BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang
bertujuan. Guru dan anak didiklah yang menggerakannya. Interaksi yang bertujuan
itu disebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang
bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin
memberikan layanan yang terbaik bagi anak didik, dengan menyediakan lingkungan
yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik
dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah
yang harmonis antara guru dengan anak didik.
Ketika
kegiatan belajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan
berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua
kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat jalannya proses belajar
mengajar, baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang bersumber
dari luar anak didik, harus guru hilangkan, dan bukan membiarkannya. Karena keberhasilan
belajar mengajar lebih banyak ditentukan oleh guru dalam mengelola kelas.
Dalam
mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana,
bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak
didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai
pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi
pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran.
Guru
yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik
lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang
sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan
pandangan yang keliru dalam menilai anak didik. Sebaiknya guru memandang anak
didik sebagai individu dengan segala perbedaannya, sehingga mudah melakukan
pendekatan dalam pengajaran.
Kualitas
pembelajaran ditentukan oleh interaksi komponen-komponen dalam sistemnya. Yaitu
tujuan, bahan ajar (materi), anak didik, sarana, media, metode, partisipasi
masyarakat, performance sekolah, dan evaluasi pembelajaran (Moh, Shochib,
1998). Performance sekolah, dan evaluasi pembelajaran (Moh, Shochib, 1998).
Optimalisasi komponen ini, menentukan kualitas (proses dan produk)
pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik adalah melakukan
analisis tentang karakteristik setiap komponen dan mensinkronisasikan sehingga
ditemukan konsistensi dan keserasian di antaranya untuk tercapainya tujuan
pembelajaran. Karena pembelajaran mulai dari perencana, pelaksanaan dan
evaluasinya senantiasa merujuk pada tujuan yang diharapkan untuk dikuasai atau
dimiliki oleh anak didik baik instructional effect (sesuai dengan tujuan
yang dirancang) maupun nurturrant effect (dampak pengiring) (Moch.
Shochib: 1999).
Realisasi
pencapaian tujuan tersebut, terdapat kegiatan interaksi belajar mengajar
terutama yang terjadi di kelas. Dengan demikian, kegiatannya adalah bagaimana
terjadi hubungan antara guru/bahan ajar yang didesain dan dengan anak didik.
Interaksi ini merupakan proses komunikasi penyampaian pesan pembelajaran. Hal
ini sejalan dengan yang dikemukakan Arief S Sadiman yang menyatakan proses
belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses interaksi yaitu proses
penyampaian pesan melalui saluran media/teknik/ metode ke penerima pesan.
(Arief S, Sadiman, dkk, 1996:13).
Sejalan
dengan inovasi pembelajaran akhir-akhir ini termasuk di Sekolah Dasar, yaitu:
PAKEM. Interaksi belajar mengajarnya menuntut anak didik untuk aktif, kreatif
dan senang yang melibatkan secara optimal mental dan fisik mereka. Tingkat
keaktifan, kreatifitas, dan kesenangan mereka dalam belajar merupakan rentangan
kontinum dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Tetapi idealnya
pada kontinum yang tertinggi baik pelibatan aspek mental maupun fisik anak
didik. Oleh karena itu, interaksi belajar mengajar dengan paradigma PAKEM
menuntut anak:
(1)
Berbuat
(2)
Terlibat dalam kegiatan
(3)
Mengamati secara visual
(4)
Mencerap informasi secara verbal
Dengan
demikian, interaksi belajar mengajar idealnya mampu membelajarkan anak didik
berdasarkan problem based learning, authentic instruction, inquiry based
learning, project based learning, service learning, and cooperative learning.
Pola interaksi yang mampu mengemas hal tersebut dapat mengubah paradigma
pembelajaran aktif menjadi paradigma pembelajaran reflektif.
Dengan
interaksi pembelajaran reflektif dapat membuat anak didik untuk menjadikan
hasil belajar sebagai referensi refleksi kritis tentang dampak ilmu pengetahuan
dan teknologi terhadap masyarakat; mengasah kepedulian sosial, mengasah hati
nurani, dan bertanggungjawab terhadap karirnya kelak. Kemampuan ini dimiliki
anak didik, karena dengan pola interaksi pembelajaran tersebut, dapat membuat
anak didik aktif dalam berfikir (mind-on), aktif dalam berbuat (hand-on),
mengembangkan kemampuan bertanya, mengembangkan kemampuan berkomunikasi, dan
membudayakan untuk memecahkan permasalahan baik secara personal maupun sosial.
Agar
hasil ini dapat optimal, guru dituntut untuk mengubah peran dan fungsinya
menjadi fasilitator, mediator, mitra belajar anak didik, dan evaluator. Ini
berarti, guru harus menciptakan interaksi pembelajaran yang demokratis dan
dialogis antara guru dengan anak didik, dan anak didik dengan anak didik (Moh.
Shochib: 1999; dan Paul Suparno dkk: 2001).
Dengan
interaksi pembelajaran yang mengemas nilai-nilai tersebut dapat membuat
pembelajaran lingking (link and math atau life skill) dan delinking
(pemutusan lingkungan negatif), diversifikasi kurikulum, pembelajaran
kontekstual, kurikulum berbasis kompetensi, dan otonomi pendidikan pada tingkat
sekolah taman kanak-kanak dengan manajemen berbasis sekolah, dan bertujuan
untuk mengupayakan fondasi dan mengembangkan anak untuk memiliki kemampuan yang
utuh yang disebut: Pendidikan Anak Seutuhnya (PAS).
Pada
dasarnya dalam kehidupan suatu bangsa, faktor pendidikan mempunyai peranan yang
sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa
tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung pendidikan adalah suatu usaha
sadar dalam menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui kegiatan,
bimbingan, pengajaran dan pelatihan bagi kehidupan dimasa yang akan datang.
Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, anggota
masyarakat dan orang tua. Untuk mencapai keberhasilan ini perlu dukungan dan
partisipasi aktif yang bersifat terus menerus dari semua pihak.
Guru
mengemban tugas yang berat untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan
memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan
rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan dan membangun dirinya sendiri serta
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Depdikbud (1999).
Berhasilnya
tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor
guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena guru secara langsung
dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan serta keterampilan
siswa. Untuk mengatasi permasalahan di atas dan guna mencapai tujuan pendidikan
secara maksimal, peran guru sangat penting dan diharapkan guru mampu
menyampaikan semua mata pelajaran yang tercantum dalam proses pembelajaran
secara tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata pelajaran yang akan
disampaikan.